Seorang sahabat dari Arab Saudi, ketika
mendapat undangan halal-bihalal, menjadi kebingungan akan maksudnya.
Sebab, sebagai orang Arab, belum pernah dijumpainya istilah
halal-bihalal dalam bahasa Arab dialek mana pun.
Memang begitu nyatanya. Halal-bihalal
adalah bahasa Arab yang bukan Arab. Mungkin lebih tepat dikatakan,
istilah Arab ala Indonesia karena yang mengerti artinya hanya orang
Indonesia, dan dilakukan hanya oleh orang Indonesia. Di negeri-negeri
Islam lainnya tidak ada istilah dan upacara halal-bihalal. Sekali lagi,
cuma terdapat di Indonesia.
Mudah-mudahan prakarsa halal0bihalal
(yang sampai sekarang tidak diketahui siapa pencetus gagasan dan istilah
tersebut) dilahirkan oleh kepekaan agama bangsa kita, yang begitu
tanggap tatkala mendengar firmal Allah surat Ali Imran ayat 112, yang
artinya:
“Ditimpakan kehinaan atas mereka di
mana pun mereka bertempat tinggal, kecuali bila terjalin tali hubungan
dengan Allah dan tali hubungan sengan sesame manusia.”
Oleh umat Islam Indonesia, ayat tersebut
dijabarkan dalam pengamalan nyata melalui halal-bihalal, yang
barangkali arti harfiahnya saling menghalalkan sesudah hubungan dengan
Allah menjadi bersih selepas menjalankan ibadah Ramadhan.
Dari sini pula berkembang upacara
beraneka ragam, seperti ketupat Lebaran, dukder, dan lain-lain, seirama
dengan adat-istiadat berbagai macam suku di Indonesia.
Tanpa berpicing mata, bahwa
upacara-upacara termaksud sering masih diwarnai dengan klenik dan
mistik, namun yang jelas, nilai-nilai agama dan tauhidnya harus kita
angkat ke permukaan sambil melestarikan adat-istiadat yang sudah mapan.
Dan itulah yang menjadikan cirri khas
umat Islam Indonesia. Dalam pengertian lain, kalau pada masa awal
kelahiran dan perkembangan selanjutnya, Nabi saw tidak mematikan adar
Arab sebelumnya, bahkan ada yang diperbaiki menjadi ibadah, demikian
pula para sahabat dan khalifah sesudahnya, maka kita di Indonesia pun
mempunyai hak yang sama untuk tetap memelihara adat tanpa meninggalkan
konsekuensi Islam kita, bukan?
Tetapi, sudah tentu yang dimaksudkan
halal-bihalal tidak termasuk utang-piutang. Jangan seperti Pak Karmud
dari Kejambon, Tegal. Mentang-mentang sudah halal-bihalal, tanggungan
utangnya tidak mau dilunasi. Ketika bolak-balik ditagih, ia hanya
menjawab santai, “Kan sudah halal-bihalal?”
Memang artinya saling menghalalkan satu
sama lain. Namun, bila menyangkut hak adami, yakni yang berkaitan dengan
harta benda, harus diselesaikan dahulu.
Nabi sendiri sebelum wafat berpesan agar
utangnya, tiga gantang kurma kepada orang Yahudi, dibayarkan oleh ahli
warisnya. Kalau tidak, bakal ditagih di akhirat hingga pahala yang
dimiliki orang yang berutang diserahkan seluruhnya kepada yang memberi
utang.
sumber : www.cerita-islami.com
0 komentar:
Posting Komentar