Rabu, 27 November 2013

Filled Under:

Halal Bihalal

Halal Bihalal
Seorang sahabat dari Arab Saudi, ketika mendapat undangan halal-bihalal, menjadi kebingungan akan maksudnya. Sebab, sebagai orang Arab, belum pernah dijumpainya istilah halal-bihalal dalam bahasa Arab dialek mana pun.
Memang begitu nyatanya. Halal-bihalal adalah bahasa Arab yang bukan Arab. Mungkin lebih tepat dikatakan, istilah Arab ala Indonesia karena yang mengerti artinya hanya orang Indonesia, dan dilakukan hanya oleh orang Indonesia. Di negeri-negeri Islam lainnya tidak ada istilah dan upacara halal-bihalal. Sekali lagi, cuma terdapat di Indonesia.
Mudah-mudahan prakarsa halal0bihalal (yang sampai sekarang tidak diketahui siapa pencetus gagasan dan istilah tersebut) dilahirkan oleh kepekaan agama bangsa kita, yang begitu tanggap tatkala mendengar firmal Allah surat Ali Imran ayat 112, yang artinya:
Ditimpakan kehinaan atas mereka di mana pun mereka bertempat tinggal, kecuali bila terjalin tali hubungan dengan Allah dan tali hubungan sengan sesame manusia.”
Oleh umat Islam Indonesia, ayat tersebut dijabarkan dalam pengamalan nyata melalui halal-bihalal, yang barangkali arti harfiahnya saling menghalalkan sesudah hubungan dengan Allah menjadi bersih selepas menjalankan ibadah Ramadhan.
Dari sini pula berkembang upacara beraneka ragam, seperti ketupat Lebaran, dukder, dan lain-lain, seirama dengan adat-istiadat berbagai macam suku di Indonesia.
Tanpa berpicing mata, bahwa upacara-upacara termaksud sering masih diwarnai dengan klenik dan mistik, namun yang jelas, nilai-nilai agama dan tauhidnya harus kita angkat ke permukaan sambil melestarikan adat-istiadat yang sudah mapan.
Dan itulah yang menjadikan cirri khas umat Islam Indonesia. Dalam pengertian lain, kalau pada masa awal kelahiran dan perkembangan selanjutnya, Nabi saw tidak mematikan adar Arab sebelumnya, bahkan ada yang diperbaiki menjadi ibadah, demikian pula para sahabat dan khalifah sesudahnya, maka kita di Indonesia pun mempunyai hak yang sama untuk tetap memelihara adat tanpa meninggalkan konsekuensi Islam kita, bukan?
Tetapi, sudah tentu yang dimaksudkan halal-bihalal tidak termasuk utang-piutang. Jangan seperti Pak Karmud dari Kejambon, Tegal. Mentang-mentang sudah halal-bihalal, tanggungan utangnya tidak mau dilunasi. Ketika bolak-balik ditagih, ia hanya menjawab santai, “Kan sudah halal-bihalal?”
Memang artinya saling menghalalkan satu sama lain. Namun, bila menyangkut hak adami, yakni yang berkaitan dengan harta benda, harus diselesaikan dahulu.
Nabi sendiri sebelum wafat berpesan agar utangnya, tiga gantang kurma kepada orang Yahudi, dibayarkan oleh ahli warisnya. Kalau tidak, bakal ditagih di akhirat hingga pahala yang dimiliki orang yang berutang diserahkan seluruhnya kepada yang memberi utang.
sumber : www.cerita-islami.com

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 HAIDAR Islamic Sains.
Designed by Jimy8 | Syahirul Lazimi